Kamis, 28 Januari 2010

Etiskah Memusnahkan Embrio Cacat?

Rabu, 27/01/2010 09:17 WIB

Etiskah Memusnahkan Embrio Cacat?

Nurul Ulfah - detikHealth


img
Ilustrasi (Foto: health)
London, Embrio cacat memiliki risiko yang tinggi jika dilahirkan seperti kelainan fisik atau organ, sakit yang berkepanjangan, bahkan kematian prematur. Etiskah memusnahkan embrio cacat?

Memusnahkan embrio cacat terus menjadi kontroversi. Hanya beberapa negara saja yang membolehkan memusnahkan embrio cacat. Tapi dibanyak negara memusnahkan embrio dianggap tidak etis.

Seperti yang terjadi di Inggris, para pembuat kebijakan kesehatan reproduksi di Inggris membolehkan dokter untuk memusnahkan embrio yang membawa gen cacat. Namun kebijakan tersebut memunculkan pro dan kontra. Setidaknya ada lebih dari 100 gen cacat yang boleh dimusnahkan.

The Human Fertilisation and Embryology Authority (HFEA) mengumumkan 116 kondisi cacat turunan tersebut pada para dokter dan klinik-klinik reproduksi.

Dengan semakin berkembangnya teknologi untuk mendeteksi cacat turunan sejak dalam rahim, seorang ibu bisa memutuskan apakah ia mau menerima anak dengan kondisi cacat atau memusnahkannya sebelum lahir ke dunia.

Embrio dengan gen cacat turunan yang boleh dihancurkan diantaranya yaitu embrio dengan gen kanker, buta, tuli, thalassemia, pertumbuhan tidak normal, dan lainnya.

Menurut David King, direktur Human Genetics Alert, adanya aturan tersebut bisa menimbulkan konflik sosial karena memicu persepsi orang cacat sebagai 'makhluk yang tidak diinginkan'.

Gen cacat pada embrio bisa diketahui 3 hari setelah terjadi fertilisasi atau pembuahan. Prosedurnya adalah, satu atau dua sel dari 8 sel embrio ditempatkan pada Pre-implantation Genetic Diagnosis (PGD), yakni alat untuk mendeteksi karakteristik gen cacat.

Tidak lama lagi HFEA juga akan menambahkan 24 daftar gen cacat lainnya yang boleh dimusnahkan, salah satunya yaitu penyakit porphyria, yakni kondisi yang menyebabkan seseorang memproduksi pigmen sel darah merah berlebih dan terkait dengan penyakit 'madness' atau serupa dengan gila.

Salah seorang penderita porphyria sekaligus anggota the British Porphyria Association, Karen Harris mengaku bisa memahami kebijakan tersebut.

"Saya punya porphyria, begitu juga dengan tiga anak serta cucu-cucu saya. Saya tidak menyalahkan penggunaan PGD, karena jika Anda tahu akan hidup dengan seseorang yang cacat, mungkin Anda akan berubah pikiran," kata Karen seperti dilansir Timesonline, Rabu (27/1/2010).

(fah/ir)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar