Telinga Mau Pecah Gara-gara Alergi Suara
Vera Farah Bararah - detikHealth
Chris Singleton (Foto: Independent)
Tentu saja, alergi ini sangat mengganggu, karena hampir setiap menit manusia mendengarkan suara yang masuk ke telinganya, baik suara orang bicara, televisi atau suara lainnya.
Tapi yang dialami Chris Singleton sungguh buruk. Suara-suara yang masuk ke telinganya terasa meneror bagai suara rem mobil melengking atau gemerincing lempeng yang membuatnya meringis, padahal bagi orang lain suara yang didengar biasa saja.
Akibat alergi suara ini, Chris kerap merasa aneh di telinga kirinya yang membuatnya semakin memburuk hingga akhirnya muncul sakit pada fisik di telinga ketika mendengar sura-suara tertentu.
"Setiap hari terdengar seperti mesin Expresso, rem mobil melengking atau gemerincing lempeng yang bisa membuat saya meringis kesakitan. Semakin tinggi frekuensi atau mencapai volume tertentu, maka telinga saya benar-benar mulai terasa sakit. Hal ini seperti mimpi buruk bagi saya," ujar Chris, seperti dikutip dariIndependent, Rabu (7/7/2010).
Keanehan ini baru dimulai pada tahun 2004, sejak kecil ia tidak pernah mengalami gangguan dengan pendengarannya serta tidak ada riwayat masalah telinga di keluarga.
Awalnya ia mengira terkena infeksi telinga, namun setelah diberi antibiotk hal ini tidak juga berkurang. Ia mulai menghindari suara-suara yang membuatnya sakit hingga akhirnya memilih berkonsultasi dengan ahli THT (telinga hidung tenggorokan).
Saat itulah Chris didiagnosis memiliki alergi suara. Hal ini tentu saja membuatnya cemas karena mengganggu karirnya yang bekerja sebagai musisi yang otomatis selalu berhadapan dengan suara-suara musik.
Akhirnya Chris menjelajahi internet untuk mencari solusi hingga ia menemukan bahwa dirinya memiliki kondisi yang disebut dengan hyperacusis.
Dalam perawatannya, terapis selalu menyuruh Chris untuk berhenti menggunakan penutup telinga dalam kehidupan sehari-hari, karena alat tersebut hanya memperkuat hipersensitif terhadap suara.
Ketakutan terbesarnya adalah mengalami kerusakan permanen pada telingannya. Jika mendengar suara keras, langsung timbul perasaan cemas dan stres yang membuat otak menghasilkan zat untuk meningkatkan sensitivas terhadap suara.
"Gejala dari hyperacusis bisa membuat seseorang sangat marah, sedih atau cemas seperti yang dialami oleh Chris. Menemukan dirinya akan panik ketika mencoba untuk lari dari suara yang mempengaruhinya," ujar Angela King, spesialis audiologi di RNID (Royal National Institute for Deaf People).
Angela menuturkan sebagian besar orang dengan hyperacusis menggunakan alat penutup telinga untuk memblokir suara. Meskipun bisa memberikan bantuan sesaat, tapi hal ini bisa menghambat kemajuan seseorang untuk beradaptasi dengan suara serta membuat kondisi bertambah buruk.
Terapis membantu bagaimana menghindari situasi bising dimanapun ia berada, dengan begitu ia juga bisa belajar mengendalikan pola kecemasannya. Hal ini tentu saja membantunya mengatasi rasa sakit dan penderitaan yang disebabkan oleh suara-suara tertentu.
"Sekarang saya dilengkapi dengan semua pengetahuan ini dan membuat saya merasa baik-baik saja. Sekarang saya tahu hal apa saja yang harus dan tidak boleh saya lakukan," ungkap Chris yang baru menyelesaikan album keduanya, Lady Gasoline.
Orang dengan hyperacusis tidak dipengaruhi oleh jenis suara yang sama, tapi gejala yang timbul seringali sama. Hingga kini tidak ada yang benar-benar memahami penyebab dari hyperacusis.
Namun diduga penyebabnya karena sering terpapar suara keras dalam jangka panjang sehingga merusak struktur halus telinga bagian dalam. Selain itu otak juga memainkan peran penting dalam pemrosesan sinyal suara dari telinga bagian dalam.
(ver/ir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar