KOMPAS.com - Peraturan soal pasangan suami istri di satu perusahaan memang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang no. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal tersebut hanya sedikit disinggung pada Bab XII Pasal 153, yang bunyinya
"Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: (salah satunya) pekerja atau buruh mempunyai pertalian darah atau ikatan perkawinan dengan pekerja atau buruh lainnya di dalam satu perusahaan."
Meski begitu, perusahaan memiliki kebijakan internal sendiri soal pernikahan antarkaryawan. Kebijakan internal tersebut biasanya diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerjasama.
Dengan demikian, tak heran bila kita menemui ada perusahaan yang membolehkan pasangan suami istri bekerja sekantor, ada pula yang melarang. Atau membolehkan tapi dengan catatan pasangan tersebut tidak dalam satu unit atau divisi.
Menurut Tuti Indrawati, konsultan karier dari Iradat Konsultan, perusahaan sebaiknya sejak awal sudah menyosialisasikan kebijakan internal soal pernikahan antarkaryawan.
Untung Rugi
Bekerja sekantor dengan suami mungkin memiliki keuntungan secara ekonomi. Pasangan dapat berangkat ke kantor dan pulang bersama-sama. Selain itu, komunikasi antara pasangan jadi lebih lancar karena, mereka saling tahu kondisi tempat mereka bekerja. Hal ini juga menciptakan kesamaan sudut pandang dalam menyikapi pekerjaan. Pasangan juga memiliki sumber terpercaya untuk mendiskusikan berbagai masalah dan tantangan.
Dengan bekerja sekantor, pasangan suami istri dapat saling mendukung dan saling menjaga rahasia perusahaan. Kolaborasi pasangan suami istri juga bisa melahirkan cara-cara bisnis yang lebih efektif dan efisien.
Namun, bekerja satu perusahaan juga mempunyai sisi negatif. Masalah pribadi mungkin akan terbawa ke kantor. Selain menimbulkan suasana tidak harmonis, kinerja pasangan berdua juga menjadi tidak prima. Bukan mustahil juga pertengkaran kecil yang terjadi di kantor akan menjadi pertikaian besar di rumah.
Bersikap Profesional
Untuk menghindari masalah-masalah di atas, Tuti menyebut satu hal yang wajib dimiliki saat suami istri bekerja dalam satu perusahaan, yaitu sikap profesional. Masing-masing harus saling memacu diri dan mendukung agar bekerja lebih baik. hundarkan situasi saling membanding kinerja dan lingkungan kerja. Selain itu, mereka tidak boleh mencampuradukkan masalah pribadi dan masalah kantor.
Pasangan juga harus memberikan kesempatan satu sama lain untuk mengembangkan diri, baik soal pengembangan karier maupun kehidupan sosial kantor. Sikap saling mengingatkan juga diperlukan. Pasangan suami istri hendaknya memanfaatkan kedekatan lokasi kerja untuk saling mengingatkan agar bisa bekerja dan bersikap secara profesional serta hindari kesalahan yang bisa menjatuhkan nama baik mereka.
"Jangan mudah mengumbar emosi di depan rekan-rekan kerja. Hargai privasi yang dimiliki oleh pasangan. Jaga profesionalisme Anda di kantor dengan beranggapan seolah-olah Anda dan suami tidak punya hubungan pribadi. Meski sulit dilakukan, namun Anda harus ingat bahwa sikap ini menentukan keberhasilan Anda berdua," pesan Tuti.
Untuk meminimalisir risiko terjadinya hal yang tidak diinginkan, Tuti menyarankan agar suami dan istri tidak bekerja dalam satu unit atau divisi. Hal ini berkaitan dengan peraturan mutasi, promosi, atau pun pengembangan karier lainnya yang mungkin. Ditambah lagi, faktor kultur di Indonesia yang masih mengharuskan suami berkarier lebih baik dari istri. Padahal, seringkali kenyatannya karier dan kompetensi istri lebih baik dari suami. Kondisi ini berpotensi menimbulkan konflik pada pasangan yang memengaruhi kinerja perusahaan.
Bila ternyata hubungan pribadi atau hubungan kerja pasangan suami istri sudah tidak nyaman lagi, sebaiknya salah satu dari mereka memutuskan untuk pindah kerja. Hal ini dilakukan untuk menghindari kondisi kerja ataupun kondisi rumah tangga menjadi buruk.
Emy Agustia
Sumber : Majalah Sekar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar