Rabu, 28 April 2010

Jellyfish Survival Story

Jellyfish Survival Story

by Mike Krumboltz

7 hours ago

363 Votes

In December, a ten-year-old Australian girl named Rachel Shardlow was attacked by one of the most venomous creatures in the world, the deadly box jellyfish. And, Rachel wasn't just stung. According to CNN, the box jellyfish completely enveloped her until she lost consciousness.

Normally, when a person meets a box jellyfish, the result is near instant death for the human. But Rachel not only survived her encounter; several months later, she's doing reasonably well. Her surprising story of survival has led at least one professor to credit her with being a medical marvel.

View a flickr gallery of box jellyfish photos.

baby box jellyfish
Photo by VannaGocaraRupa

In an interview with Australia's ABC news, zoology professor Jamie Seymour said that Ms. Shardlow's injuries were "horrific." The doctor added, "Usually when you see people who have been stung by box jellyfish with that number of the tentacle contacts on their body, it's usually in a morgue."

Just how unlikely was Ms. Shardlow's survival? Again, according to the professor, "I don't know of anybody in the entire literature where we've studied this where someone has had such an extensive sting that has survived.”

The young survivor isn't 100% herself after being attacked. She has suffered some memory loss and has scarring on her legs where the jellyfish wrapped itself. Still, the father reports that Rachel's "cognitive skills and memory tests were all fine."

The recent interview has led to a lot of searches on "pictures of box jellyfish" and "box jellyfish map." National Geographic writes that the creatures "live primarily in coastal waters off Northern Australia and throughout the Indo-Pacific." And as for how they got their name? Some think their bell looks a bit like a cube.

http://buzz.yahoo.com/buzzlog/93616?fp=1

Sabtu, 24 April 2010

Geger Otak dan Hilang Ingatan

Jumat, 23/04/2010 13:47 WIB

Geger Otak dan Hilang Ingatan

AN Uyung Pramudiarja - detikHealth


img
Ilustrasi (Foto: deltasurgical.co.uk)
Phoenix, Gara-gara terpeleset lalu jatuh, ingatan selama 46 tahun lenyap begitu saja. Ini terjadi pada seorang pria di Phoenix, Arizona yang terpaksa harus mempelajari lagi setiap detail perjalanan hidupnya karena geger otak.

Dilansir dari AOL, Kamis (23/4/2010), pria bernama Scott Bolzan tersebut mengalami retrograde amnesia. Sedikitpun ia tak mampu mengingat kejadian-kejadian di masa lalu termasuk foto pernikahan dan bahkan anak istrinya sendiri.

Satu-satunya yang dia ingat adalah ketika ia pergi ke kamar mandi, lalu terpeleset ketika melewati genangan yang ia pikir air sabun. Kepalanya terbentur dan oleh dokter ia didiagnosis mengalami gegar otak.

Seorang neurologis, Dr. Ravish Patwardhan mengatakan kemungkinan Bolzan mengidap sakit ayan tetapi tidak terdeteksi. Pada beberapa kaus, ayan atau epilepsi juga bisa melenyapkan memori otak.

Pemindaian terhadap otak Bolzan memang tidak menunjukkan adanya aliran darah ke temporal-lobe sebelah kanan, yakni bagian otak yang menyimpan memori jangka panjang. Ia harus dikenalkan kembali kepada istrinya, dan rajin melihat foto-foto untuk mengingat kembali setiap detail masa lalunya.

Namun Dr. Ravish meyakini, Bolzan tidak mengalami anterograde amnesia karena masih mampu mengingat kata-kata serta cara membaca dan menulis. Pada anterograde amnesia, kemampuan membentuk ingatan baru benar-benar diblok.

Apa itu geger otak?

Dari buku Neurology and Trauma, WB. Saunders Co, 1996 disebutkan geger otak adalah trauma yang disebabkan benturan dikepala yang cukup kuat yang membuat otak mengalami kehilangan kesadaran atau kebingungan beberapa saat setelah terjadi benturan.

Karena pukulan atau benturan tersebut otak membengkak dan meningkatkan tekanan kepada intrakranial yang jika parah bisa berakibat fatal. Saat terbentur, otak menjadi tersentak kaget terhadap tengkorak.

Penyebab geger otak ini beragam mulai dari jatuh atau benturan keras yang mengenai kepala, kecelakaan motor, saat olahraga.

Geger otak bisa berlangsung ringan yang ditandai dengan kebingungan sementara atau berat seperti kasus petinju yang banyak mengalami kerusakan otak. Anak-anak sering mengalami geger otak ringan karena jatuh atau tabrakan saat bermain.

Gegar otak yang terjadi selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun dapat menyebabkan cedera kepala kumulatif yang dapat menyebabkan kerusakan otak permanen.

Gejala gegar otak antara lain:
  1. Sakit kepala
  2. Disorientasi waktu, tanggal atau tempat
  3. Kebingungan
  4. Pusing
  5. Menatap kosong atau bingung ekspresi
  6. Kacau atau tidak bisa mengerti pembicaraan orang
  7. Lemah
  8. Amnesia
  9. Mual atau muntah
  10. Penglihatan kabur
  11. Telinga berdengung

Gejala-gejala ini bisa berlangsung mulai beberapa menit hingga beberapa jam. Jika mengalami ketidaksadaran dalam yangg lama menunjukkan adanya cedera otak parah yang bisa bikin hilang ingatan.

Jika gegar otak yang dialami ringan tidak perlu dirawat di rumah sakit dan tidak perlu menjalani tes diagnostik mahal. Tapi jika kondisinya parah mungkin diperlukan scan otak seperti computed tomography scan (CT) ataumagnetic resonance imaging (MRI) untuk mencari cedera otak.
(ir/ir)

Mikronutrien untuk Kekebalan Tubuh Anak

Jumat, 23/04/2010 14:18 WIB

Mikronutrien untuk Kekebalan Tubuh Anak

Vera Farah Bararah - detikHealth


img
(Foto: thinkvedic)
Jakarta, Angka kejadian anak meninggal sebelum berusia 5 tahun masih terbilang tinggi. Salah satu penyebabnya adalah sistem kekebalan tubuh yang kurang. Zat seperti mikronutrien bisa meningkatkan sistem imun anak.

Data Unicef tahun 2009 menyebutkan penyebab utama kematian balita adalah akibat diare dan infeksi saluran pernapasan bawah dengan persentase sebesar 17 persen akibat diare dan 19 persen akibat pneumonia. Sementara itu penyakit kurang gizi merupakan faktor penyebab setengah dari seluruh kematian pada bayi.

"Kematian balita meningkat seiring dengan adanya peningkatan penyakit infeksi yang berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh. Dan mikronutrien seperti vitamin A, E, C, zat besi, zink, selenium dan tembaga memiliki efek terhadap peningkatan sistem kekebalan tubuh anak," ujar Prof Sunil Sazawal, MD, MPH, PhD dalam acara temu media Perkembangan Baru di Bidang Nutrisi dan Kesehatan Anak di Hotel Gran Melia, Jakarta, Jumat (23/4/2010).

Prof Sunil mengatakan fortifikasi (penambahan) mikronutrien di dalam susu bisa meningkatkan daya tahan tubuh anak usia 1-3 tahun terhadap berbagai risiko penyakit seperti diare, anemia, infeksi saluran pernapasan bawah dan memperbaiki status gizi serta pertumbuhan anak.

Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan Prof Sunil dan tim terhadap populasi peri-urban di Delhi, India dan hasilnya telah dipublikasikan dalam British Medical Journal tahun 2006 lalu.

Dalam studi tersebut sebanyak 633 anak usia 1-3 tahun yang tidak mengalami malnutrisi dan sehat diikutsertakan. Sebanyak 317 anak mengonsumsi susu yang telah difortifikasi dengan mikronutrien sedangkan 316 anak lainnya mengonsumsi susu biasa.

Setelah diteliti selama 1 tahun didapatkan anak-anak yang mengonsumsi susu dengan fortifikai mikronutrien memberikan perlindungan sebanyak dua kali lipat terhadap penyakit diare, anemia, infeksi saluran pernapasan bawah, memperbaiki status gizi dan pertumbuhan anak dibandingkan dengan anak yang minum susu biasa.

"Sebenarnya susu biasa sudah mengandung mikronutrien tersebut, tapi jumlah yang ada belum mencukupi kebutuhan anak dalam mencegah berbagai penyakit ini," ungkap Prof Sunil dari Department of Internasional Health, Bloomberg Scholl of Public Health, John Hopkins University, Baltimore, AS.

Namun mikronutrien pada susu ini hanya diperlukan pada anak yang berusia di atas 6 bulan. Karena bayi yang baru lahir hingga usia 6 bulan semua kebutuhkan nutrisi termasuk mikronutriennya sudah terpenuhi di dalam ASI eksklusif, jadi penambahan mikronutrien ini tidak berpengaruh.

(ver/ir)

Demi Payudara Sehat, Jangan Pakai Bra 24 Jam

Jumat, 23/04/2010 15:11 WIB

Demi Payudara Sehat, Jangan Pakai Bra 24 Jam

Merry Wahyuningsih - detikHealth


img
Ilustrasi (Foto: msnbc)
Jakarta, Beberapa wanita percaya menyangga payudara secara terus menerus bisa menghindari payudara turun. Namun kebiasaan itu ternyata bisa memicu peningkatan suhu tubuh sekitar payudara yang lama-lama berisiko terkena kanker.

Dua ilmuwan Sydney Singer dan istrinya Soma Grismaijer pada tahun 1991 melakukan penelitian mengenai berapa lama waktu yang ideal untuk memakai penutup dada wanita atau bra?

Jawabannya ternyata kurang dari 12 jam. Wanita yang ingin menghindari kanker payudara harus memakai bra dalam waktu sesingkat mungkin, dan sebaiknya kurang dari 12 jam per hari.

Singer dan Grismaijer mempelajari kebiasaan memakai bra 4.500 wanita di lima kota di seluruh Amerika Serikat. Hasil studinya telah dipublikasikan dalam sebuah buku Dressed To Kill: The Link Between Breast Cancer and Bras.

Hasil studi menunjukkan wanita yang memakai bra selama 24 jam sehari berisiko paling tinggi terkena kanker payudara. Sedangkan wanita yang jarang memakai bra paling sedikit risikonya.

Perbandingan hasil studi tersebut menunjukkan:
  1. 3 dari 4 wanita yang memakai bra 24 jam per hari
  2. 1 dari 7 wanita yang memakai bra lebih dari 12 jam per hari, tetapi tidak menggunakannya saat tidur
  3. 1 dari 152 wanita yang memakai bra kurang dari 12 jam per hari
  4. 1 dari 168 wanita yang jarang atau bahkan yang tidak pernah memakai bra sama sekali

Jadi risiko wanita yang memakai bra selama 24 jam memiliki 125 kali lipat risiko terkena kanker payudara dibanding yang jarang memakai bra.

Waktu yang paling tepat untuk mengistirahatkan payudara dengan tanpa memakai bra adalah saat tidur. "Jangan tidur dengan bra," kata Sydney Singer, seperti dilansir dari chetday, Jumat (23/4/2010).

Memijat payudara disertai menarik napas panjang setiap kali melepas bra dapat memperlancar aliran getah bening dan mencegah berkembangnya kanker pada payudara.

Sistem limfatik pada payudara hanya berkembang sepenuhnya selama kehamilan dan menyusui, sehingga wanita yang memakai bra sehari-hari, menunda memiliki anak dan yang tidak menyusui dapat terkena risiko kanker payudara lebih tinggi.

Sekitar 75 persen wanita yang terkena kanker payudara sebenarnya tidak memiliki faktor risiko kanker. Hal ini memunculkan dugaan bahwa penggunaan bra yang tidak pas atau terus-terusan memakai bra merupakan faktor yang dapat menjelaskan hal tersebut.

Ukuran bra yang tidak tepat atau terlalu ketat dapat membantu pertumbuhan kanker di payudara. Karena bra yang salah dapat menghambat penetralan bahan kimia berbahaya dalam tubuh yang menyebabkan kanker. Dan sekitar 80 persen wanita menggunakan bra yang salah.

Alasan utama mengapa bra yang ketat dapat membahayakan kesehatan adalah karena bisa membatasi aliran getah bening di payudara. Normalnya, cairan getah bening mencuci bahan limbah dan racun lain, serta menjauhkannya dari payudara.

Menggunakan bra terlalu lama juga meningkatkan suhu jaringan payudara, dan wanita yang memakai bra memiliki kadar hormon prolaktin (hormon yang berfungsi merangsang kelenjar air susu) yang lebih tinggi. Kedua hal ini dapat mempengaruhi pembentukan kanker payudara.
(mer/ir)

Mati Karena Kebanyakan Minum Air Putih

Jumat, 23/04/2010 16:30 WIB

Mati Karena Kebanyakan Minum Air Putih

Vera Farah Bararah - detikHealth


img
(Foto: naturallyintense)
Jakarta, Minum air putih yang cukup, sangat dianjurkan untuk memperlancar metabolisme tubuh. Tapi jika air yang dikonsumsi terlalu banyak dan diminum dengan cepat akan terjadi keracunan air yang bisa menyebabkan kematian.

Seperti yang dialami Jennifer Strange (28 tahun) yang ditemukan meninggal tahun 2007 di rumahnya California beberapa jam setelah menjadi kontestan minum air paling banyak tanpa ke kamar mandi.

Dari otopsi awal yang dilakukan, Strange diketahui meninggal akibat mengonsumsi air terlalu banyak dan cepat sehingga menyebabkan kondisi yang dikenal dengan keracunan air (water intoxication).

Seperti dikutip dari Howstuffworks, Jumat (23/4/2010) pada dasarnya keracunan air terjadi bila seseorang mengonsumsi terlalu banyak air sehingga nutrisi lain di dalam tubuh menjadi terlarut yang mengakibatkan zat tersebut tidak bisa lagi melakukan tugasnya dengan baik.

Keracunan air juga mengakibatkan ketidakseimbangan elektrolit yang mempengaruhi konsentrasi ion natrium dan memicu terjadinya hiponatremia.

Elektrolit adalah garam ion sederhana yang digunakan oleh sel untuk memindahkan cairan serta pesan saraf yang masuk dan keluar dari sel di seluruh tubuh. Tanpa elektrolit, maka tubuh tidak dapat berfungsi.

Pada kasus keracunan air, kondisi hiponatremia yang ekstrim pada akhirnya dapat menyebabkan koma dan kematian. Jika bisa diketahui secara dini, maka pengobatan dengan memberikan cairan yang mengandung elektrolit IV bisa memberikan pemulihan lengkap. Tapi jika tidak ditangani, maka kondisi ini akan berakibat fatal.

Ketika seseorang meninggal akibat keracunan air, maka biasanya dimulai dengan ketidakseimbangan akut ion natrium yang mengakibatkan kerusakan sel besar.

Natrium memiliki peran mensirkulasi cairan di luar sel. Akibatnya sodium akan membantu mengatur tekanan darah dan menjaga sinyal agar memungkinkan otot bekerja dengan benar. Sel yang aktif dapat mempertahankan konsentrasi natrium yang tepat di dalam tubuh.

Sel akan menjaga kadar natrium agar tetap sehat dengan menggerakkan air serta elektrolit masuk dan keluar sel, baik untuk melarutkan atau meningkatkan kadar natrium dalam cairan tubuh.

Tapi saat seseorang minum dalam jumlah banyak dan cepat serta air yang dikonsumsi tidak mengandung tambahan elektrolit, maka sistem pemeliharaan sel tidak dapat menangani tingkat pengenceran natrium yang terjadi.

Hasilnya adalah sel-sel ini akan berusaha mati-matian untuk mencoba meningkatkan konsentrasi natrium dalam cairan tubuh. Beberapa sel akan membengkak tapi sel lainnya tidak, akibatnya sel-sel otak ini akan terhambat oleh tengkorak dan tekanan dari air yang masuk akan semakin besar. Hal inilah yang bisa mengakibatkan kerusakan fatal.

Jumlah asupan air yang dapat mengakibatkan keracunan tidak dapat diketahui dengan pasti dan bervariasi setiap individu. Gejala yang muncul saat terjadi keracunan air mirip sekali dengan keracunan alkohol yaitu mual, muntah dan adanya perubahan mental. Gejala lainnya adalah sakit kepala, otot melemah dan kejang-kejang.

Kasus keracunan air yang parah adalah mengalami koma dan kematian mendadak akibat pembengkakan otak. Kondisi ini cukup langka terjadi di masyarakat umum, tapi atlet lari jarak jauh memiliki risiko ini, sehingga seringkali dihindari dengan cara mengonsumsi minuman olahraga dan bukan air putih selama latihan atau perlombaan.(ver/ir)

Anak Jangan Pakai Ponsel Sebelum 12 Tahun

Sabtu, 24/04/2010 08:03 WIB

Bahaya Kesehatan, Anak Jangan Pakai Ponsel Sebelum 12 Tahun

Merry Wahyuningsih - detikHealth


img
Ilustrasi (Foto: dailymail)
London, Telepon genggam alias ponsel memang sudah menjadi kebutuhan yang sulit dipisahkan. Tak hanya orang dewasa, bahkan anak-anak pun kini banyak yang dibekali ponsel. Tapi para ahli mengingatkan, jangan pernah biarkan anak-anak menggunakan ponsel sebelum berusia 12 tahun.

Bahkan menurut fisikawan dan ahli di bidang radiasi, anak usia remaja pun sebaiknya hanya menggunakan ponsel untuk mengirim pesan singkat (SMS) saja, bukan untuk berbicara atau melakukan panggilan.

"Anak bukanlah orang dewasa yang bertubuh kecil, mereka tak seharusnya menggunakan ponsel sebelum usia 12 tahun," ujar Profesor Lawrie Challis, mantan kepala Mobile Telecommunications and Health Research programme (MTHR) seperti dilansir dariDailymail, Sabtu (24/4/2010).

Profesor Challis mengatakan, hal tersebut memang masuk akal, karena sistem kekebalan tubuh anak-anak masih berkembang dan kita tahu bahwa mereka lebih sensitif terhadap hal-hal lain, seperti ultra-violet dari sinar matahari.

Sayangnya, banyak orangtua yang merasa tenang jika membekali anaknya ke sekolah dengan ponsel karena bisa memantau anak dengan mudah.

Tapi bagi Profesor Challis, alasan-alasan tersebut bukanlah ide yang baik. Kecuali jika memang ada alasan keamanan tertentu yang harus dilakukan.

Rekomendasi ini datang dari MTHR, dimana Profesor Challis masih menjadi anggota, yang meluncurkan hasil penelitian mereka selama 30 tahun tentang risiko penggunaan ponsel terhadap 250.000 warga Eropa, 100.000 warga Inggris termasuk partisipan anak-anak.

Peneliti mendata jumlah panggilan pada masing-masing ponsel partisipan dan membandingkannya dengan catatan kesehatan, untuk menentukan apakah ponsel memicu atau memperburuk kanker, termasuk kanker telinga, kulit dan otak.

Studi ini juga melihat apakah ponsel meningkatkan kemungkinan penyakit saraf seperti Alzheimer, Parkinson dan multiple sklerosis, stroke dan penyakit jantung, serta kondisi yang kurang serius seperti sakit kepala dan gangguan tidur.

Hasilnya, mereka yang berusia di bawah usia 12 tahun, yang memang dibekali ponsel oleh orang tuanya, paling rentan terhadap semua dampak negatif dari penggunaan ponsel.

Dan menurut para peneliti dari Imperial College London, hasil ini memang akan mengejutkan banyak orangtua. Tapi jika keadaannya mendesak dan anak-anak memang tidak bisa tanpa dibekali ponsel, pilihanya adalah dengan membekali anak ponsel beserta handset yang memang dirancang untuk anak.

"Jika orangtua khawatir, mereka dapat memantau anak-anak cukup dengan melakukan panggilan singkat, atau menggunakan perangkat hands-free," ujar John Cooke, direktur eksekutif Mobile Operators Association.

Menurutnya, orangtua harus bisa menimbang-nimbang antara manfaat jaminan nyata yang diberikan oleh teknologi ini terhadap kemungkinan efek kesehatan masa depan yang tidak diketahui.

(mer/ir)

Minggu, 18 April 2010

Info Makanan Halal Hadir Tiap Detik di detikFood

Kamis, 15/04/2010 17:12 WIB
Surat dari Buncit
Info Makanan Halal Hadir Tiap Detik di detikFood
Odilia Winneke - Surat Dari Buncit



Jakarta - Kerja sama detikfood dengan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) telah dimulai. Kini sajian info terbaru tentang produk makanan halal bisa Anda peroleh detik ini juga. Info lengkap ini bakal membuat Anda lebih mudah mendapatkan produk yang halal dan baik. Info dan berita halal apa saja yang tersedia?

Sudah lama kami menyimpan keinginan untuk bisa menyajikan info yang lengkap dan terkini tentang produk makanan halal dan sehat. Hal ini terutama karena jumlah penduduk muslim yang mayoritas di negara kita belum bisa mendapatkan info soal kehalalan makanan, dengan cepat dan mudah.

Keinginan ini agaknya mendapat sambutan baik dari LPPOM MUI . Pihak LPPOM MUI sedang memiliki program sosialisasi produk halal di semua media. Karena itulah kerja sama ini kami sambut dengan gembira.

Pada hari Rabu, 14 April yang lalu, bertempat di kantor MUI di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, secara resmi perjanjian kerja sama ditandatangani. Kedatangan detikfood ke markas Mui sekaligus ingin melihat dari dekat suasana kantor dan kegiatan yang berlangsung di sana.

"Mulai tahun ini kami secara intensif dan gencar berpromosi ke seluruh media tentang produk makanan sehat. Tujuannya supaya masyarkat lebih mudah mendapatkan informasi," demikian jelas Ir Lukmanul Hakim M.Si, Direktur Pelaksana LPPOM MUI saat menerima detikfood. Karena itu pula sebagai satu-satunya media internet yang menjadi saluran informasi produk halal kami merasa bangga bisa ikut serta dalam program sosisialisasi tersebut.

Kami sengaja membuat pembaca menjadi mudah dan nyaman. Di halaman depan detikfood, terdapat fasilitas untuk mencari Info Produk Halal. Anda tinggal memasukkan nama produk atau restoran dan klik Cari, maka dalam hitungan detik info tentang produk dan nomor sertifikasi halal ditampilkan.

Di kolom Makanan Halal, terdapat Info Produk Halal yang mengupas secara lengkap isi, jenis dan bentuk serta kemasan produk makanan lengkap dengan nomor sertifikasi halal dan produsennya. Berita Halal akan memberikan info terkini segala peristiwa di dunia berkaitan dengan makanan halal.

Tak hanya itu, kami juga menyediakan informasi khusus tentang Babi dan Produk Turunannya dalam bentuk visual yang mudah dipahami. Tujuannya agar info lengkap soal babi dan produknya bisa dipahami dengan mudah. Demikian juga bagi mereka yang ingin mengurus sertifikasi halal, ada info lengkap tentang prosedur pengurusan sertifikasi ini.

Oleh karena itu kami juga menantikan info, kritik, saran dan usulan dari pembaca mengenai kanal Makanan Halal ini. Di waktu yang akan datang tentunya kami ingin tetap bisa memberi kemudahan untuk mendapatkan informasi tentang produk halal dengan lebih lengkap dan baik. Tujuan kami agar pembaca bisa menikmati makanan halal dan thayib. Tak hanya enak, lezat tetap halal dan mendatangkan manfaat untuk tubuh!

Foto:
Penyerahan berkas kerjasama di kantor MUI

(Odi/nrl)

9 Ingredients to avoid in processed foods

9 Ingredients to avoid in processed foods




If you know me at all, you know that I’m an advocate for whole, unprocessed foods. However, many of us inevitably turn to packaged or processed foods when we are short on time. Maybe we grab a frozen dinner or pizza for a quick dinner for our family. Maybe we grab a quick nutrition bar to satiate our hunger until we can sit down for a real meal. Or maybe, we just don’t like to cook. Whether we like it or not, packaged and processed food has become a huge part of our food industry and, as a result, a part of many of our diets.

Although there are some brands that I hugely advocate for, there are many more that border on outright unhealthy and “scary.” Many packaged foods that seem healthy often contain fillers, preservatives and other ingredients you don’t want in your diet. It is always preferable to choose products that have only a handful of ingredients, all of which should be recognizable. One test to know whether an ingredient is healthy is to ask yourself whether your grandmother would recognize it. If not, there is a good chance the ingredient is less natural food and more man-made chemical. Another good test is whether or not you can easily pronounce the ingredient. If you feel like you need a science degree to pronounce it properly, chances are the ingredient is worth avoiding.

If you do have to resort to a processed food for a snack or dinner (anything canned, packaged, etc.), try to avoid those that contain the ingredients listed in the following chart. Although this isn’t an exhaustive list, these ingredients are some of the most highly processed and least healthy of all:

IngredientWhy it is UsedWhy it is Bad
Artificial Colors
  • Chemical compounds made from coal-tar derivatives to enhance color.
  • Linked to allergic reactions, fatigue, asthma, skin rashes, hyperactivity and headaches.
Artificial Flavorings
  • Cheap chemical mixtures that mimic natural flavors.
  • Linked to allergic reactions, dermatitis, eczema, hyperactivity and asthma
  • Can affect enzymes, RNA and thyroid.
Artificial Sweeteners
(Acesulfame-K, Aspartame, Equal®, NutraSweet®, Saccharin, Sweet’n Low®, Sucralose, Splenda® & Sorbitol)
  • Highly-processed, chemically-derived, zero-calorie sweetenersfound in diet foods and diet products to reduce calories per serving.
  • Can negatively impact metabolism
  • Some have been linked to cancer, dizziness hallucinations and headaches.
Benzoate Preservatives

(BHT, BHA, TBHQ)

  • Compounds that preserve fats and prevent them from becoming rancid.
  • May result in hyperactivity, angiodema, asthma, rhinitis, dermatitis, tumors and urticaria
  • Can affect estrogen balance and levels.
Brominated Vegetable Oil

(BVO)

  • Chemical that boosts flavor in many citric-based fruit and soft drinks.
  • Increases triglycerides and cholesterol
  • Can damage liver, testicles, thyroid, heart and kidneys.
High Fructose Corn Syrup
(HFCS)
  • Cheap alternative to cane and beet sugar
  • Sustains freshness in baked goods
  • Blends easily in beverages to maintain sweetness.
  • May predispose the body to turn fructose into fat
  • Increases risk for Type-2 diabetes, coronary heart disease, stroke and cancer
  • Isn’t easily metabolized by the liver.
MSG

(Monosodium Glutamate)

  • Flavor enhancer in restaurant food, salad dressing, chips, frozen entrees, soups and other foods.
  • May stimulate appetite and cause headaches, nausea, weakness, wheezing, edema, change in heart rate, burning sensations and difficulty in breathing.
Olestra
  • An indigestible fat substitute used primarily in foods that are fried and baked.
  • Inhibits absorption of some nutrients
  • Linked to gastrointestinal disease, diarrhea, gas, cramps, bleeding and incontinence.
Shortening, Hydrogenated and Partially Hydrogenated Oils
(Palm, Soybean and others)
  • Industrially created fats used in more than 40,000 food products in the U.S.
  • Cheaper than most other oils.
  • Contain high levels of trans fats, which raise bad cholesterol and lower good cholesterol, contributing to risk of heart disease.
Have you checked your ingredient lists recently? Do they contain any of the above? Have you tried cutting some of these ingredients out?

Excerpted from "GET REAL" and STOP Dieting! Copyright 2009 - Brett Blumenthal

Originally posted on sheerbalance.com

http://shine.yahoo.com/channel/health/9-ingredients-to-avoid-in-processed-foods-1268429/

Diet Berisiko Sakit Jantung dan Kanker

Diet Berisiko Sakit Jantung dan Kanker
Ini karena diet menghasilkan tingkat hormon stres kortisol lebih tinggi.
MINGGU, 18 APRIL 2010, 10:30 WIB
Amril Amarullah, Lutfi Dwi Puji Astuti
Diet (dok. Corbis)

VIVAnews -- Banyak orang terutama wanita mendambakan tubuh ideal nan ramping. Mereka pun rela melakukan diet mati-matian demi mendapatkan bentuk tubuh yang diidam-idamkan.

Tapi perlu Anda ketahui, bahwa diet tanpa program yang benar sangat berbahaya bahkan bisa berisiko tinggi menyebabkan penyakit berbahaya. Hal ini bisa terjadi karena pola diet menghasilkan tingkat hormon stres kortisol lebih tinggi.

Berdasarkan suatu penelitian, melakukan diet tanpa program yang baik dapat meningkatkan risiko Anda mengalami kondisi yang mematikan seperti penyakit jantung, diabetes dan kanker.

Penelitian ini menemukan bahwa mereka yang mengontrol asupan kalori yang dihasilkan lebih tinggi dari hormon stres kortisol sangat berbahaya untuk kesehatan.

Para peneliti juga memperingatkan, memiliki tubuh apa adanya tanpa diet justru akan membuat orang merasa lebih baik, dan perlu diingat bahwa diet sesungguhnya dapat merusak kesehatan mental mereka.

Banyak penderita stres psikologis meningkat ketika mereka terus-menerus dipaksa untuk menghitung kalori dan memonitor apa yang mereka makan.

Dokter pun harus berpikir dua kali sebelum memberikan saran pada pasien mereka untuk diet ketat karena dampak kesehatan yang buruk bisa saja terjadi dalam jangka panjang ke depan.

"Terlepas dari keberhasilan atau kegagalan menurunkan berat badan, dalam jangka panjang menurut studi menunjukkan bahwa diet meningkatkan stres dan kortisol, dokter mungkin perlu memikirkan kembali merekomendasikan kepada pasien mereka untuk memperbaiki kesehatan," kata para peneliti seperti dikutip dari laman dailymail.co.uk.

• VIVAnews

Rabu, 14 April 2010

Dangerous high heels,Women's shoes

Dangerous high heels: Women's shoes reach hazardous heights during the recession






Can you even imagine trying to walk in these new Yves Saint Laurent slingbacks? Yikes.
  • Three professional runway models took one look at these 12-inch heels and declined to walk in last fall's Alexander McQueen show.
  • Fashion trendsetter Lady Gaga manages to walk a few steps in the Alexander McQueen heels during her "Bad Romance" video.
  • We doubt these feather-weight ankle ties provide much support when wearing these Fendi lucite platforms.
  • Even affordable, popular retailers like Forever 21 have joined the sky-high heel trend.

  • Proenza Schouler featured these narrow wedges in its spring collection.
  • Platform heels at McQueen were terrifying in more ways than one
    • These 3.1 Phillip Lim heels may look sensible compared to some heels these days, but they look to be pushing 7 inches.

Can you even imagine trying to walk in these new Yves Saint Laurent slingbacks? Yikes.

Photo by: Bergdorf Goodman

If you’ve browsed a shoe department lately, you may have noticed that high heels are growing—and not just in popularity. Towering platforms, extreme wedges, and treacherous stilettos have flooded the marketplace in recent months, and most every designer and celebrity seems to be doing their part to participate in the trend. Runways, red carpets, and glossy magazine spreads have all been inundated with the look. Ever the style catalyst, Lady Gaga donned Alexander McQueen’s 12-inch heels in her "Bad Romance" music video after three professional runway models refused to wear them on the runway last fall. This past weekend, even Tina Fey, the queen of nerd chic, strutted out in five-inch pumps to perform her opening monologue on "Saturday Night Live." Clearly, we have a fashion craze on our hands, or, um, feet.

So why the sudden (literal) footwear rise? Experts say the recession is to blame: "We have entered a moment of heightened impracticality in footwear," Elizabeth Semmelhack, author of "Heights of Fashion: A History of the Elevated Shoe" told CNN. "Heel heights noticeably grew during the Great Depression of the 1930s, the oil crisis in the 1970s, and when the dotcom bubble burst in the 2000s." Women's shoes are now at an all-time high, and Semmelhack believes during tough economic times, there's "a greater need for escapism."

However, this escapism isn't without its hazards: "There is never a shortage of high-heeled women in pain in my midtown Manhattan office, but yes, there is an increase lately," says Dr. Jacqueline Sutera, Doctor of Podiatric medicine and surgery and spokesperson for the American Podiatric Medical Association says. Popular Manhattan podiatrist Dr. Rock Positano, Director of the Non-surgical Foot and Ankle Center at the from the Hospital for Special Surgery, agrees, "We are seeing a dramatic increase in problems of this nature that are directly related to abnormal or altered foot and ankle mechanics."

Sutera explains that any shoe with more than a two-inch heel can be dangerous, though certain styles are better than others—like wedges, which are safer because your weight is distributed across a greater surface area. Minimal use is also key: "What I do, and recommend to my patients, is to wear [heels] when I get to my office, or event," says Sutera. "And then wear a commuter shoe to and from [where you're going]." As for those of us who love to wear a pair of sexy high heels out dancing, Positano strongly advises against it: “I have termed an injury known as the 'Gloria Gaynor fracture,' which is best described as an injury sustained during fast dancing while wearing high heels. The combination of fast dancing, a very high heel, and maybe a libation or two can lead to a potentially dangerous situation."

Women who are overweight, have arthritis, or have high or flat arches, will experience more frequent foot and ankle problems (most common are tendon and muscle strains, hammertoes, bunions, and stress fractures—though long-term high heel wearers could suffer from tendinitis, severe ankle sprains, and torn ligaments and tendons), but many women encounter symptoms after extended high-heel wear. "Pain is your body's way of warning you that something is wrong, you should stop wearing the shoes" says Sutera.

Obviously no one expects that women will stop dressing up in heels altogether, but if you limit the amount of wear time and the heel's height you’re, um, taking a step in the right direction. The doctors we spoke with also recommend: Massaging your feet and rolling them over a golf ball or ice when you take off your shoes at night and gripping a towel and holding your foot up for 15 seconds, three times a day, can also help strengthen the intrinsic muscles of the feet. [CNN][NY Mag]

http://shine.yahoo.com/channel/beauty/dangerous-high-heels-womens-shoes-reach-hazardous-heights-during-the-recession-1278751/#photoViewer=1